Rabu, 16 Februari 2011

artikel hak dan kewajiban !!1

Kasus Tanah Kemayoran (2)
Status Bangunan Tak Diatur Secara Tegas
Selasa, 17 Juni 2008 - 14:25 wib

Trust -
Pemeriksa BPK dalam catatannya di hasil audit menyebutkan, terkait pengelolaan Bandar Baru Kemayoran, terdapat beberapa kelemahan dalam perjanjian pengelolaan atau penggunaan tanah antara BPKK dan investor atau mitra usaha. Seperti antara lain, dalam surat perjanjian penyerahan hak dan kerja sama penggunaan tanah di atas hak pengelolaan lahan (HPL), belum diatur secara tegas mengenai status bangunan yang berdiri di atasnya pada saat perjanjian itu, atau tepatnya ketika masa berlaku hak guna bangunan (HGB) berakhir.

Perjanjian-perjanjian yang dianggap bermasalah oleh BPK itu, di antaranya tidak menyebutkan secara tegas mengenai status bangunan yang berdiri di atasnya ketika perjanjian itu atau tepatnya ketika masa berlaku HGB berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbarui oleh pemegang HGB. Padahal berdasarkan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah menyebutkan antara lain bahwa, HGB hapus karena berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya.

Perjanjian-perjanjian semacam itu, di antaranya perjanjian kerja sama antara BPKK dengan PT Blosom Utama (Juli 2003), PT Inti Mitra Utama (April 2003), PT Prasada Japa Pamudja (Juni 2003), dan PT Theda Persada Nusantara (Desember 2003). Sekadar informasi, di PT Theda Persada Nusantara, putra Presiden Megawati, Muhammad Rizki Pratama, tercantum sebagai wakil komisaris.

Itulah sebagian kecil gambaran amburadulnya pengelolaan kawasan Bandar Baru Kemayoran versi audit BPK tahun 2005, yang notabene pengelolaannya berada di bawah BPKK dan ketuanya saat itu adalah mantan Mensesneg Bambang Kesowo. Pantas saja bila Mensesneg saat ini Hatta Rajasa merasa ketiban sial dengan kasus-kasus itu. Karenanya, selaku Ketua BPKK saat ini, Hatta mengaku tengah mengevaluasi perjanjian sewa yang dibuat DP3KK. "Supaya ada unsur yang lebih adil, dan tidak akan memperpanjang perjanjian yang sudah habis waktunya," katanya. Ia juga menyatakan, tak tertutup kemungkinan untuk membatalkan surat perjanjian jika pihak penyewa tak dapat melaksanakan apa yang telah disepakati.
 

Evaluasi tersebut, dilakukan Setneg sejak Hatta menjabat Sekretaris Negara pada Mei 2007. Evaluasi tersebut mencakup hak dan kewajiban antara pengelola lahan Kemayoran dan pihak penyewa. Saat ini, sejak dua pekan lalu Setneg juga sedang berkoordinasi dengan Departemen Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, untuk menghitung kerugian negara atas aset-aset negara yang berada di bawah Setneg. Termasuk aset tanah kawasan Bandar Baru Kemayoran dan kawasan Gelora Bung Karno.

Terkait koordinasi Setneg dengan Departemen Keuangan itu, menurut sumber, Mensesneg Hatta selain ingin membenahi amburadulnya pengelolaan aset-aset di bawah Setneg itu, juga agar laporan keuangan Setneg yang setiap tahunnya diperiksa BPK, tidak ternoda dengan status disclaimer. "Makanya Setneg membuka diri bagi KPK untuk memeriksa para pejabat dan mantan pejabat Setneg untuk diperiksa atau dimintai keterangan," katanya. (mbs).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar